Warga Palestina yang berada di Gaza tidak hanya menderita karena perang, tetapi juga karena faktor faktor lainnya. Seperti dilansir AFP News , sampah sampah menumpuk di berbagai titik di Gaza. Suhu panas naik, lalat dan nyamuk berterbangan.
Hidup menjadi lebih sulit bagi orang orang yang tinggal di tenda pengungsian, yang umumnya terbuat dari plastik. Pekan lalu, suhu di Rafah mencapai 30 derajat Celcius. Di sebidang tanah di pinggiran kota paling selatan di perbatasan Mesir itu, sekitar 20 tenda didirikan, dengan kain besar terbentang di atasnya.
Namun kain tipis dan berwarna gelap ini tidak sebanding dengan terik matahari yang menyebabkan suhu meningkat dengan cepat sejak akhir April, sehingga semakin sulit untuk menjaga air minum dan makanan agar tetap awet. “Air yang kami minum hangat,” kata Ranine Aouni al Arian, seorang wanita Palestina yang mengungsi dari kota Khan Yunis, kepada AFP. Ledakan Keras di Pusat Tel Aviv, Belasan Tentara Israel Roboh Dalam Sehari di Front Gaza Lebanon Halaman 4
Tak Hanya Dilanda Perang, Warga Gaza Juga Menderita karena Cuaca Panas, Sampah Menumpuk dan Serangga Kunci Jawaban Bahasa Indonesia Kelas 11 Halaman 72 73 Kurikulum Merdeka, Kegiatan 3: Unsur Cerpen Halaman 4 Belakangan Ini, Indonesia Dilanda Cuaca Panas, Ternyata Ini Penyebabnya Menurut BMKG
Kunci Jawaban PAI Kelas 11 Halaman 132 133 134 Kurikulum Merdeka: Penilaian Pengetahuan Bab 4 Halaman all Sejumlah Wilayah Indonesia Dilanda Cuaca Panas Akhir akhir Ini, BMKG Buka Suara Kunci Jawaban PAI Kelas 10 Halaman 80 81 82 83 Kurikulum Merdeka: Penilaian Pengetahuan Bab 3 Halaman all
“Anak anak tidak tahan lagi dengan panas dan gigitan nyamuk serta lalat." Ranine menggendong bayi yang wajahnya dipenuhi gigitan serangga dan mengatakan bahwa dia berjuang untuk menemukan obat atau solusi lain. Di sekelilingnya, kawanan lalat dan serangga lainnya tak henti hentinya berdengung.
“Ini pertama kalinya kami melihat begitu banyak serangga, karena polusi dan sampah dibuang di mana mana”, kata Aala Saleh, dari Jabalia di utara Gaza. Ia mengatakan hampir mustahil untuk tidur di dalam tenda. "Kami terbangun karena digigit nyamuk, dan perhatian utama kami adalah membunuh serangga serangga ini".
Di tengah cuaca panas dan kondisi yang tidak sehat, Aala juga mengaku khawatir akan penyebaran penyakit. Pada bulan Januari lalu, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperingatkan adanya lonjakan penyakit menular seperti hepatitis A, yang disebabkan oleh kondisi tidak sehat di kamp kamp pengungsian. “Sampah terus menumpuk dan air mengalir sangat langka di Gaza," kata UNRWA, badan PBB untuk pengungsi Palestina, dalam sebuah postingan di X minggu lalu.
“Saat cuaca semakin panas, risiko penyebaran penyakit meningkat.” Rafah menampung sekitar 1,5 juta pengungsi, menurut PBB. Jumlah itu merupakan lebih dari separuh penduduk Jalur Gaza yang dikepung dan dibombardir oleh Israel selama hampir tujuh bulan.
Di jalan jalan, sampah menumpuk karena kontainer sampah berukuran besar sudah penuh. Layanan dasar seperti pengangkutan sampah tidak berfungsi sejak lama akibat perang kali ini. Tentara Israel tanpa henti menggempur wilayah kecil Palestina sebagai respons terhadap serangan Hamas yang belum pernah terjadi sebelumnya pada tanggal 7 Oktober, yang mengakibatkan kematian 1.170 orang, menurut penghitungan AFP berdasarkan angka resmi Israel.
Serangan Israel kemudian menewaskan sedikitnya 34.488 orang di Gaza, sebagian besar perempuan dan anak anak, menurut kementerian kesehatan di wilayah yang dikuasai Hamas. Perang ini juga telah menghancurkan kendaraan pengumpulan sampah, fasilitas dan pusat pengolahan limbah medis, menurut sebuah laporan PBB mengatakan akhir bulan lalu. “Kami hidup di neraka,” kata Hanane Sabre, seorang pengungsi Palestina berusia 41 tahun yang anak anaknya tidak dapat lagi tahan dengan tenda yang panas.
“Saya kelelahan karena panas, ditambah nyamuk dan lalat di mana mana yang mengganggu kami siang dan malam,” katanya. Tugas sehari hari seperti memasak dan mencuci, atau menyiapkan adonan roti dilakukan di dalam tenda dalam cuaca panas yang menyengat, kata Mervat Alian, seorang perempuan pengungsi dari Kota Gaza. “Seolah olah kita hidup di dalam kuburan, kehidupan sudah tidak ada lagi," tambahnya.